Jumat, 03 Desember 2010

Prasasti Kota Kapur: Sisa-sisa Kejaan Sriwijaya di Bumi Serumpun Sebalai


Prasasti Kota Kapur (686 M/608 saka).
Keberadaan Situs Prasasti Kota Kapur sangat erat kaitannya dengan perairan Selat Bangka yang sering dilintasi  oleh kapal-kapal nelayan setempat maupun asing. Menurut sejarah, pada tahun 1700-an di perairan yang jaraknya sekitar 21 mil dari Pantai Kota Kapur  (Penagan) tersebut sering terjadi perampokan terhadap kapal-kapal yang melintas  oleh para penyamun dan bajak laut yang bersembunyi di sekitar selat Bangka (Kota  Kapur dan sekitarnya). Kabar mengenai merajalelanya para bajak laut terdengar oleh  Raja Sriwijaya yaitu Sultan Ratu Akhmad Badaruddin. Menyikapi kondisi tersebut,  Raja Sriwijaya mengirimkan pasukan untuk memberantasnya. Utusan Raja Sriwijaya berhasil menaklukkan para perampok dan penyamun tersebut. Kemudian, agar tidak ada lagi gangguan terhadap kapal-kapal yang melintas dan juga membahayakan Kerajaan Sriwijaya, maka dibuatlah sebuah prasasti yang berisi tentang perjanjian para penyamun dengan Raja Sriwijaya. Prasasti inilah yang kemudian  dikenal dengan nama Prasasti Kota Kapur, karena prasasti tersebut dibuat di  Kota Kapur. Prasasti perjanjian tersebut berisi kesetiaan khalayak yang masuk  dalam kekuasaan Sriwijaya termasuk Pulau Bangka dan sekitarnya; dan harus taat  dan patuh kepada segala peraturan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan  oleh Raja Sriwijaya; dan penghapusan segala bentuk perampokan dan pemberontakan  di setiap wilayah kekuasaan Sriwijaya.
 (Gambar. Peta Wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya)
Prasasti Kota Kapur ditemukan di Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat terletak di pinggir Sungai Mendo yang bermuara di selat Bangka . Prasasti ini pernah  tertimbun tanah karena tidak dirawat. Baru pada tahun 1892 prasasti ini  ditemukan JK. Fander Meulend (orang Belanda) yang pada waktu itu menjabat  sebagai Administrator di Sungai Selan. Pahatan pada prasasti ini berjumlah  sepuluh baris dengan menggunakan aksara Pallawa dalam bahasa Sansekerta. Pada  tahun 1978, di areal situs ditemukan alas prasasti oleh penduduk desa Kota  Kapur. Alas prasasti yang memiliki panjang 30 cm, lebar 52 cm, dan berat 7 kg  tersebut sekarang berada di rumah juru pelihara Situs Kota Kapur. Di area ini  sudah dua kali diadakan penelitian oleh Tim Arkeologi Nasional bekerjasama  dengan Tim Arkeologi dari Perancis tahun 1994 dan 1995.
 (Gambar. Prasasti kota kapur  yang ditemukan 1978 ( diperkirakan alas prasasti tersebut) oleh penduduk desa Kota Kapur di areal situs.) Alas prasasti ini berukuran : Panjang = 30 cm, Lebar 52 cm, lebar = 17 cm dan berat 7 kg.)
Saat prasasti itu dikeluarkan, Raja Sriwijaya sedang mengirimkan ekspedisi untuk menundukkan Pulau Jawa, karena tidak berbakti pada Sriwijaya. Prasasti ini tidak menyebutkan kerajaan mana yang akan diserang, yang tercantum hanya: bhumi Jawa. Tentara Sriwijaya berangkat ke tanah Jawa pada hari pertama bulan terang bulan Waisaka, tahun Saka 608. Keberangkatan tentara dalam jumlah besar ke Pulau Jawa menjadikan pertahanan keamanan dalam negeri lemah. Khawatir terjadi pemberontakan dalam negeri, maka Dapunta Hyang (Raja Sriwijaya) mengeluarkan ancaman seperti yang tertulis dalam prasastikota kapur ini. Isi prasasti kota kapur menekankan pada drohaka (pengkhianat; durhaka), dimulai dengan kisah pemberontakan Kandra Kayet. Dikisahkan, Kandra Kayet merupakan seorang tokoh yang memimpin pemberontakan terhadap Dapunta Hyang. Untuk menumpas pemberontakan Kayet, Dapunta Hyang mengirim tentara di bawah pimpinan Senapati Tandrun Luah. Dalam pertempuran, Senapati Tandrun Luah berhasil dibunuh oleh Kayet. Namun, akhirnya Kayet berhasil juga diringkus oleh Dapunta Hyang. Untuk itulah, kisah pemberontakan Kayet perlu dijadikan pelajaran oleh orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya bahwa, bagaimanapun kuatnya mereka, tetap tidak akan menang melawan Raja Sriwijaya.
 (Gambar. Tulisan hurup palawa pada prasasti kota kapur)
Berikut ini terjemahan isi prasasti kota kapur versi Slamet Muljana :

Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet, di medan pertempuran. Ia bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh Tandrun Luah. Tandrun Luah mati terbunuh di medan pertempuran. Tetapi, bagaimana nasib Kayet yang membunuh itu? Juga Kayet berhasi ditumpas. Ingatlah akan kemenangan itu!

Kamu sekalian dewata yang berkuasa dan sedang berkumpul menjaga Kerajaan Sriwijaya! Dan kau, Tandrun Luah, dan para dewata yang disebut pada pembukaan seluruh persumpahan ini! Jika pada saat manapun di seluruh wilayah kerajaan ini ada orang yang berkhianat, bersekutu dengan pengkhianat, menegur pengkhianat atau ditegur oleh pengkhianat, sepaham dengan pengkhianat, tidak mau tunduk dan tidak mau berbakti, tidak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu, orang yang berbuat demikian itu akan termakan sumpah. Kepada mereka, akan segera dikirim tentara atas perintah Sriwijaya. Mereka sesanak keluarganya akan ditumpas! Dan semuanya yang berbuat jahat, menipu orang, membuat sakit, membuat gila, mlakukan tenung, menggunakan bisa, racun, tuba, serambat, pekasih, pelet dan yang serupa itu, mudah-mudahan tidak berhasil. Dosa perbuatan yang jahat untuk merusak batu ini hendaklah segera terbunuh oleh sumpah, segera dipukul. Mereka yang membahayakan, yang mendurhaka, yang tidak setia kepadaku dan kepada yang kuserahi kekuasan datu, mereka yang berbuat demikian itu, mudah-mudahan dibunuh oleh sumpah ini.

Tetapi kebalikannya, mereka yang berbakti kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu, hendaknya diberkati segala perbuatannya dan sanak keluarganya, berbahagia, sehat, sepi bencana dan berlimpah rezeki segenap penduduk dusunnya.



 
Source :